• Skip to primary navigation
  • Skip to main content

Herman Yudiono

  • Home
  • Tentang
  • Kontak
  • Blog

Wawancara Dengan Jefferly Helianthusonfri Tentang Menerbitkan Buku di Penerbit Mayor

oleh Herman Yudiono

Meskipun saya sedang menggeluti self-publishing, saya juga ingin menerbitkan buku di penerbit mayor.

Entah kenapa, ketika saya membayangkan buku saya diterbitkan penerbit mayor dan dipajang di toko buku, rasanya sesuatu banget. Seakan-akan saya telah sah menjadi penulis buku.

Terlepas dari itu, menembus penerbit mayor itu tidak mudah. Itulah kenapa saya mewawancarai seorang penulis muda ternama, yaitu Jefferly Helianthusonfri.

Jefferly Helianthusonfri adalah praktisi dan penulis buku digital marketing. Selain aktif sebagai salah satu pendiri Kelingking.id, Jefferly juga telah menulis lebih dari 40 buku seputar digital marketing. Ia menekuni bidang SEO, pembuatan website, dan social media marketing.

Di bawah ini adalah wawancara saya dengan dia seputar menerbitkan buku di penerbit mayor.

1. Sampai sekarang, sudah berapa buku yang telah Anda terbitkan di penerbit mayor? Buku yang baru-baru terbit tentang apa?

Sampai Januari 2019, saya sudah menerbitkan lebih dari 40 judul buku. Sekitar 43 atau 44, saya lupa angka pastinya. Sebab saya sudah tidak menghitung.

Beberapa buku yang baru terbit membahas seputar YouTube, tools social media marketing, dan juga seputar affiliate marketing.

2. Apa kelebihan dan kekurangan menerbitkan buku di penerbit mayor?

Kelebihan:

1. Jaringan distribusi yang luas. Biasanya penerbit mayor bekerja sama atau bahkan memiliki distributor buku yang jaringannya luas.

Mereka bisa mendistribusikan buku sampai ke berbagai daerah di Indonesia. Dari Sumatra sampai Papua. Ini cukup membantu jika goals penulis adalah menjangkau sebanyak mungkin pembaca dari beragam daerah dan kalangan.

Selain itu, mereka biasanya juga punya jaringan promosi yang luas. Jadi penulis bisa memanfaatkan jaringan promosi tersebut. Apalagi jika penerbit yang punya grup besar, mereka biasanya punya akses ke media dan ke jaringan promosi yang luas.

2. Relatif lebih praktis. Sebab penulis hanya perlu fokus pada proses penulisan dan promosi buku saja. Untuk urusan layouting, editing, design, produksi dan cetak, semua ditangani oleh penerbit mayor.

Penulis tinggal menyiapkan naskah, lalu biarkan penerbit yang memproduksi. Paling nanti, penulis juga ikut terlibat dalam hal promosi.

Kekurangan:

1. Proses terbit yang kadang relatif lama. Bisa sampai berbulan-bulan. Sebab naskah kita kadang harus antre di redaksi.

Dalam arti, redaksi sedang mempersiapkan buku lain, maka kita perlu menunggu antrean. Selain itu jumlah naskah yang masuk ke penerbit biasanya juga banyak. Jadi kadang harus menunggu.

2. Profit margin yang relatif kecil. Berbeda kalau menerbitkan buku secara self publishing, margin profit yang didapat bisa lebih besar. Sebagai gambaran, untuk di penerbit mayor, royalti yang didapat biasanya sekitar 10 %.

3. Birokrasi dan sistem yang tidak agile (lincah dan gesit). Saya tidak bisa menggeneralisasi semua penerbit. Hanya saja, berdasarkan pengalaman saya, karena biasanya penerbit mayor berupa perusahaan yang cukup besar, maka ada proses birokrasi yang perlu dilalui juga.

Jadi tidak bisa langsung cepat, gesit, mau ini, mau itu, tetapi perlu ikut sistem mereka. Juga sistem yang masih relatif konvensional.

Misalkan kalau kita butuh laporan penjualan, maka kadang harus menunggu dan belum bisa real time atau sangat mendetail seperti kalau kita pakai tool analytics di digital marketing.

3. Saat menulis buku pertama, bagaimana cara Anda mengatasi rasa takut ditolak penerbit?

Kalau boleh cerita, saya pertama kali menulis buku saat kelas 1 SMA. Waktu itu saya tergabung dalam sebuah komunitas penulis buku komputer. Saat itu saya juga punya pembimbing dalam komunitas tersebut yang membantu mengajukan naskah ke penerbit.

Ketika masa itu, saya sama sekali tidak terbesit pikiran naskah ditolak atau apa. Yang ada saat itu hanya rasa gembira bisa menjalani sebuah tantangan baru.

Kalaupun toh saat itu ditolak, saya bisa ajukan judul/naskah lain. Jadi waktu itu saya merasa nothing to lose.

Dan saat ini menurut saya juga tidak perlu takut ditolak penerbit, sebab sudah era digital ya. Kalau kita bicara konsepnya, content creation, maka mau pakai media apa pun, kita bisa manfaatkan.

Bukankah pada intinya kita mau pesan kita didengar? Atau karya kita dinikmati?

Menurut saya, saat ini buku hanyalah salah satu medium. Selain buku, kita juga bisa pakai video, infografik, blog, aplikasi, dan sebagainya. Hanya saja, buku memang punya tempat dan makna spesial.

Jadi, kalaupun ditolak, jangan patah semangat. Sebab motivasinya kita adalah membuat konten dan konten kita dinimati oleh audiens. Apa pun medianya, yang paling penting konten kita dinikmati audiens. Kalau menurut saya seperti itu.

4. Menurut Anda, apa kesalahan-kesalahan yang dilakukan penulis pemula dalam menulis buku pertamanya?

Menurut saya ada dua hal yang sering terjadi. Pertama adalah mereka menulis berdasarkan apa yang mereka mau tulis, tanpa melihat permintaan dari masyarakat/pasar seperti apa.

Misalkan mereka datang dengan sebuah ide topik atau sebuah gagasan, lalu ingin membuat buku semacam itu. Hanya saja, kadang mereka lupa apa yang sebenarnya diinginkan oleh audiens/pembaca.

Menurut saya, sebagai seorang penulis, kita perlu berangkat dari apa kebutuhan/keinginan pembaca. Sebab ketika menerbitkan buku, apalagi melalui penerbit mayor, maka mereka akan sangat menghitung nilai ekonomi dari sebuah buku.

Yang pertama kali dilihat hampir pasti adalah seberapa besar pasar buku itu, seberapa besar potensi revenue dan profit yang bisa didapat.

Kedua, menulis tanpa outline. Jadi hanya sekadar memulai, mengalir, lalu menulis. Layaknya karya apa pun, sebuah buku pun perlu punya perencanaan. Hadirnya outline ini akan sangat membantu penulis, termasuk ketika menjumpai writer’s blocks.

5. Bagaimana cara memilih topik buku yang diminati orang-orang?

Menurut saya, cara pertama dan terutama adalah menjiwai apa yang kita tulis. Dalam arti, lebih enak kalau kita menulis/berkarya di bidang yang memang kita sukai, cintai, atau bahkan hidupi.

Sebagai contoh, saya menulis di bidang digital marketing karena itu keseharian dan kehidupan saya. Pekerjaan saya juga di bidang tersebut. Dengan demikian, kita akan tahu betul kondisi dan perkembangan topik/bidang tersebut.

Seiring berlalunya waktu, kita akan punya semacam “indra” yang bisa merasakan mana topik yang akan laris, mana yang biasa saja, mana yang dibutuhkan audiens, mana yang sedang trending, dan sebagainya. Intinya, berangkat dari diri dan keahlian/kesukaan kita dulu.

Namun kita juga bisa memanfaatkan tool ataupun sarana lain. Misalkan dengan riset. Bisa dengan cara ngobrol dengan target pembaca, bertanya ke mereka, dan lemparkan gagasan kita.

“Eh kalau saya nulis tentang ini, menurutmu gimana?” Atau “Kalau boleh tahu, Bapak/Ibu lagi tertariknya baca tentang apa? Belajar tentang apa? Lagi kepo banget sama hal apa?”

Nah nanti jawaban-jawaban itu yang kita olah. Intinya, bisa juga bertanya/wawancara dengan target pasarnya kita. Bisa juga bikin survei, lalu tanya ke audiens.

Bisa juga manfaatkan berbagai tool riset lain. Saya biasanya memanfaatkan tool analytics. Baik itu di media sosial ataupun di website.

Contoh, saya punya website dan channel YouTube. Saya pakai Google Analytics untuk mempelajari data trafik web saya. Lalu di YouTube, saya pakai YouTube Analytics untuk mempelajari minat audiens.

Saya bisa dapatkan data demografi audiens, minat mereka, perilaku mereka, dan sebagainya. Itu data-data yang sangat berharga. Data-data analytics tadi bisa kita olah dan elaborasikan untuk menghasilkan ide buku atau konten.

6. Jika topik yang akan diangkat sudah ditulis orang lain, apakah harus cari topik lain atau tetap menulis topik tersebut?

Menurut saya, tetap menulis topik tersebut. Tapi kita hadirkan sudut pandang yang baru/fresh, pembahasan lebih baru, atau hal-hal lain yang menjadi nilai tambah kita.

Misalkan karya kita lebih mutakhir, gaya bahasa dan penyampaian yang lebih asyik, tutorial yang lebih mendalam, dan berbagai nilai plus lainnya.

Selagi belum ada jawara tak terkalahkan di topik tersebut, monggo saja dicoba untuk berkarya.

7. Bagaimana cara menentukan target pembaca buku?

Proses penentuan target pembaca saya lakukan di awal. Ini berbarengan ketika saya menyusun outline buku. Di tahap ini saya akan membuat perkiraan kira-kira seperti apa segmen pembaca buku saya.

Misalkan untuk buku Yuk Jadi YouTuber, segmen pembaca buku saya adalah mereka yang tertarik menjadi seorang YouTuber. Hanya saja, segmen besar tadi saya pecah menjadi beberapa kategori. Misalkan: kategori usia 15 – 21 tahun, 22 – 30 tahun, dan 30 tahun ke atas.

Contoh, untuk usia 15 – 21 ini biasanya adalah mereka yang masih SMP, SMA, hingga kuliah. Usia 22 – 30 ini mereka yang sudah bekerja, punya kesibukan lain, dan sebagainya.

Untuk topik youtuber, dugaan saya, permintaan terbesar untuk topik tersebut akan ada di usia remaja hingga dewasa muda. Jadi, asumsi saya, mayoritas pembaca nanti akan berasal dari rentang usia itu.

Alhasil, ketika menulis, saya harus bisa menyampaikan pembahasan yang enak dan disukai oleh kalangan remaja dan dewasa muda tadi.

Cara yang saya pakai misalnya: memakai gaya bahasa yang santai, menampilkan studi kasus/contoh-contoh yang dekat dengan usia remaja dan dewasa muda tadi. Jadi, saya membuat buku itu senyaman dan seenak mungkin dibaca oleh segmen tadi.

Intiya, untuk penentuan target pembaca, bisa memakai kriteria seperti usia pembaca, minat mereka, keseharian/kebiasaan mereka, kesukaan dan ketidaksukaan mereka, dan sebagainya. Kita perlu tahu betul siapa segmen pembaca yang ingin kita tuju.

8. Bagaimana cara membuat judul buku yang menarik?

Kalau untuk judul buku, saya tidak punya rumusan khusus. Hanya saja, ada beberapa cara yang biasa saya gunakan.

Cara pertama, saya biasanya membuat judul buku yang berkaitan dengan topik buku saya. Contohnya kalau saya membuat buku tentang affiliate marketing, maka saya akan masukkan topik affiliate marketing tadi di judul saya.

Hanya saja, supaya lebih menarik, saya akan pakai kata-kata penambah daya tarik seperti mudah, praktis,  cepat, lengkap, ampuh, dan lain sebagainya. Jadi, misal untuk affiliate marketing judulnya Panduan Affiliate Marketing Pemula.

Selain itu, kadang saya pakai judul yang mengandung kata-kata yang unik atau yang ada slogannya, seperti salah satunya buku Yuk Jadi YouTuber. Atau dulu saya pernah buat buku yang judulnya Ranking 1 di Google? Siapa Takut.

Dua cara itu yang biasa saya andalkan. Terutama ini dalam konteks penulisan buku nonfiksi.

9. Jika naskah kita ditolak penerbit mayor, apa yang harus dilakukan?

Ada beberapa strategi lain yang bisa kita pilih.  Strategi pertama adalah dengan menjadi seorang influencer. Dalam arti, bangun basis dan komunitas audiens dulu.

Misal dengan cara meningkatkan jumlah pengikut di media sosial, meningkatkan popularitas profil kita, meningkatkan trafik di web, dan sebagainya. Kenapa? Sebab ketika kita punya banyak pengikut, nanti penerbit yang akan mencari-cari kita dan menawarkan kerja sama.

Kalau kita sudah punya banyak pengikut (misal: sekian ribu/belasan ribu orang di Instagram), penerbit malah yang akan menawarkan kita untuk jadi penulis di tempat mereka.

Strategi kedua adalah coba tanyakan mengapa naskah kita ditolak. Lalu pikirkan perbaikan apa yang bisa kita lakukan.

Nah dari perbaikan tersebut, coba dicocokkan dengan penerbit, apakah kita tetap bisa menerbitkan/direview lagi atau tidak. Atau bisa juga kita ajukan ke penerbit lain.

Startegi ketiga adalah menerbitkan melalui jalur self publishing. Sekarang sudah ada banyak penyedia jasa penerbitan buku. Kita juga bisa menempuh jalur tersebut.

10. Bagaimana langkah demi langkah yang Anda lakukan untuk menulis buku?

Saya punya 5 langkah, yakni:

1. Mendapatkan ide. Di tahap ini saya akan mencari ide yang akan diubah jadi topik buku. Kalau saya, biasanya ide datang dari keseharian/pekerjaan saya.

Misalkan, saya punya agensi digital marketing namanya @Kelingking_id. Nah dari kegiatan saya menangani kebutuhan klien, dari kegiatan saya bekerja di bidang digital marketing, saya hampir selalu bisa dapat ide untuk ditulis.

Entah itu dijadikan buku, tulisan blog, video YouTube, dan sebagainya.

2. Membuat outline buku. Setelah punya ide buku, saya akan mengubah ide tersebut menjadi outline buku.

Outline ini berupa daftar isi buku, gambaran keseluruhan isi buku. Outline inilah yang nantinya memandu saya proses penulisan naskah.

3. Menulis naskah. Selanjutnya masuk ke proses penulisan buku. Untuk saya pribadi, proses ini bisanya berlangsung selama lebih kurang 1 bulan.

Adakalanya bisa lebih cepat (misal: 2 minggu) jika saya sedang sangat fokus menggarap satu project buku. Tentu lama waktu ini bisa berbeda antara satu penulis dengan penulis lain, dan juga antara satu topik buku dengan topik yang lainnya.

4. Revisi dan editing. Setelah drafting, saya akan punya satu naskah yang sudah selesai. Nah saya akan baca lagi naskah tersebut, lalu saya cari poin-poin/bagian mana yang dapat saya perbaiki.

Selanjutnya saya lakukan perbaikan pada bagian/bab/sub bab tersebut. Selain perbaikan, saya juga akan melakukan editing, terutama aspek tata bahasa di buku saya.

Kalimat yang masih kompleks akan saya sederhanakan. Salah ejaan/pengetikan akan saya perbaiki juga. Tujuannya supaya kita menghasilkan naskah yang benar-benar terbaik dan siap dipublikasikan.

5. Publikasi. Di tahap ini saya akan kirimkan naskah ke penerbit, khususnya ke editor yang akan menangani naskah saya. Untuk selanjutnya, mengikuti proses terbit di penerbit.

11. Berapa uang yang dihasilkan dari sebuah buku yang diterbitkan penerbit mayor? Bagaimana cara penulis menerima uang tersebut?

Sebagai gambaran, kalau di penerbit mayor, besarnya royalti sekitar 10% dari harga jual buku. Contoh, kalau harga buku Rp 50.000, penulis mendapat 10%-nya (yakni Rp 5.000).

Penghasilannya, royalti dikalikan jumlah buku yang laku terjual. Nanti itu besarnya nilai royalti.

Royalti akan ditransfer ke rekening penulis pada saat periode pembayaran di penerbit tersebut. Biasanya periodenya 6 bulan sekali atau 1 tahun sekali. Tergantung kebijakan di tiap penerbit.

Dalam hal ini, revenue bukunya ya berupa royalti. Tapi kalau penulisnya bisa menghasilkan model revenue lain, ya tentu bisa dapat sumber tambahan lain. Seperti jualan training/workshop, menjual jasa lain, konsultasi/mentoring, dan sebagainya.

12. Apa saran Anda untuk pemula yang mengalami writer’s blocks saat menulis buku?

Pastikan membuat outline/kerangka buku sebelum terjun ke proses drafting (menulis naskah). Selalu buat perencanaan sebelum membuat sebuah karya.

Jangan masuk ke eksekusi sebelum punya rencana karya bukunya. Buat dulu sinopsis buku, outline/kerangkanya.

Jadi ketika menulis, lalu menjumpai writer’s blocks, maka bisa melihat lagi pada outline yang sudah dibuat. Outline ini akan menjadi “peta” yang memandu seorang penulis.

Penutup

Demikianlah wawancara dengan Jefferly Helianthusonfri tentang menerbitkan buku di penerbit mayor . Semoga bermanfaat bagi Anda yang masih pemula dalam hal menulis buku dan menerbitkannya di penerbit mayor.

Jika ada pertanyaan lain seputar penerbitan buku di penerbit mayor, silakan informasikan di bagian komentar. Saya akan sampaikan pertanyaan Anda kepada Jefferly.

Kategori: Menulis

Reader Interactions

Comments

  1. Basri Abdullah says

    Februari 1, 2019 at 10:48 am

    Jefferly Helianthusonfri adalah anak muda yang kreatif dan luar biasa, saya pernah membaca bukunya, kalau gak salah, temanya tentang panduan membuat blog. tulisannya memang bagus dan enak dibaca. Buku kang Herman kapan nih diterbitkan?

    Balas
    • Herman Yudiono says

      Februari 1, 2019 at 5:37 pm

      Saya sudah beli 3 bukunya Jefferly. Dan sepertinya jumlah itu akan bertambah di tahun ini.

      Anyway, dari goal tahun ini, saya akan menerbitkan buku cetak pertama saya awal Mei 2019. Bukan via penerbit mayor, tapi self-publishing.

      Balas
      • Jefferly Helianthusonfri says

        Februari 4, 2019 at 11:08 am

        Sukses untuk buku cetaknya Kang. Saya tidak sabar menunggu bukunya Kang Yudiono.

        Balas
    • Jefferly Helianthusonfri says

      Februari 4, 2019 at 11:07 am

      Terima kasih Pak sudah membaca buku saya. 🙂
      Salam kenal.

      Balas
  2. Taufik Junaidie says

    Februari 1, 2019 at 2:05 pm

    Wah, jadi pengen punya buku sendiri juga di penerbit mayor

    Balas
    • Herman Yudiono says

      Februari 1, 2019 at 5:38 pm

      Go ahead Mas…

      Balas
  3. @bangsaid says

    Februari 1, 2019 at 2:33 pm

    Baca wawancara ini langsung semangat untuk nulis

    Balas
    • Herman Yudiono says

      Februari 1, 2019 at 5:38 pm

      Nulis apa nih? Nulis buku atau nulis artikel? 🙂

      Balas
  4. Rapikan.com says

    Februari 1, 2019 at 11:10 pm

    Menginspirasi sekali ya Mas Jefferly Helianthusonfri, masih muda tapi sudah berhasil menerbitkan lebih 40 buku.
    .
    Thanks kang, Wawancara menginspirasi nya..

    Balas
  5. qom says

    Februari 3, 2019 at 2:08 pm

    bikin buku itu ada gak sih batasan halamannya? minimal berapa maksimal berapa atau bebas yang penting sudah terpenuhi konten”nya?

    Balas
    • Jefferly Helianthusonfri says

      Februari 4, 2019 at 11:10 am

      Pada dasarnya tidak ada batasan khusus. Hanya saja, di penerbit biasanya ada range halaman yang perlu diikuti. Misalkan ada yang mensyaratkan minimal 100 halaman A4, atau batasan lainnya.

      Jadi, selagi konten kita sudah mencukupi, dan masih dalam batas range penerbit, maka naskah akan sesuai untuk diterbitkan.

      Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Home
  • Tentang
  • Kontak
  • Blog